Bagaimana Suku Tengger Memandang Gunung Bromo – Masyarakat Tengger adalah suku asli atau penduduk lokal yang tinggal di lereng Gunung Bromo dan area sekitarnya. Pandangan Suku Tengger terhadap Gunung Bromo pun menjadi pertanyaan bagi sebagian orang.
Mengingat mereka kerap kali mengadakan berbagai tradisi di sekitar Gunung Bromo sebagai bagian dari budaya. Dengan demikian apakah masyarakat Tengger menganggap Gunung Bromo sebagai sesuatu yang sakral?
Bagaimana Suku Tengger Memandang Gunung Bromo?
-
Penilaian/Pandangan Suku Tengger Terhadap Gunung Bromo
Gunung Bromo di mata Suku Tengger merupakan gunung sakral yang wajib dijaga dan dihormati. Mereka meyakini nenek moyang suku Tengger bersemayam di dalam Gunung. Maka tidak heran jika masyarakat di sana sering mengadakan upacara pemujaan untuk menghormati leluhur mereka.
Upacara yang paling sering diadakan adalah Upacara Kasada yang dilaksanakan di sebuah pura. Pada pelaksanaannya Suku Tengger menyiapkan sesaji misalnya seperti hasil ternak dan hasil bumi yang nantinya akan dilemparkan ke kawah Bromo.
-
Upaya Melestarikan Gunung Bromo
Bagaimana Suku Tengger memandang Gunung Bromo dan menjaganya? Dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan, Suku Tengger melakukan berbagai ritual untuk mendoakan alam agar terhindar dari malapetaka. Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, Suku Tengger rutin mengadakan ritual dan menyiapkan sesaji yang diletakkan di beberapa tempat terbuka.
Misalnya di bawah pepohonan, di pinggir padang pasir, hingga di dekat kawah. Dengan ciri khas tersebut Suku Tengger berpartisipasi dalam menjaga keasrian budaya, religi, lingkungan, serta sejarah dari Gunung Bromo.
-
Asal-usul Tradisi Yadnya Kasada
Bagaimana Suku Tengger memandang Gunung Bromo dan upacara apa saja yang dilakukan? Yadnya Kasada adalah bagian dari upacara penting yang dilaksanakan oleh Suku Tengger yang memeluk agama Hindu. Hal tersebut berkaitan erat dengan asal usul Gunung Bromo, termasuk kisah tentang Roro Anteng dan Joko Seger.
Kisah ini dimulai dari keinginan keduanya yang ingin mempunyai momongan hingga memohon kepada Dewata supaya dikarunia 25 orang anak. Setelah itu permohonan mereka pun dikabulkan dengan syarat anak terakhir wajib dijadikan persembahan Dewa Bromo.
Legenda tersebut semakin berkembang hingga Kusuma anak terakhir mereka menceburkan diri ke dalam kawah dan meminta saudaranya untuk memberikan kurban pada bulan kesepuluh ketika bulan purnama. Dari sinilah Upacara Kasada muncul dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Suku Tengger.
-
Ketentuan Upacara Kasada
Saat pelaksanaannya Upacara Kasada diadakan di beberapa titik, yaitu kawah gunung, rumah dukut adat, dan Pura Poten Luhur. Upacara tersebut dimulai dari tengah malam sampai dini hari. Prosesi pertama dilakukan di rumah dukun adat pada tengah malam dan dilanjutkan ke kegiatan berikutnya di Pura Luhur Poten sekitar jam 4 pagi.
Setelah itu Suku Tengger melakukan perjalanan ke kawah Gunung Bromo dengan membawa sesaji dari pura. Hal paling krusial dari sesaji adalah wajib memenuhi dua unsur penting yang mencakup kepala gantung dan kepala bungkah. Untuk anggota yang mempunyai permohonan khusus, disyaratkan membawa kambing atau ayam sebagai sesaji.
Apa Saja Fakta Menarik dari Suku Tengger?
-
Berasal dari Kerajaan Majapahit
Asal-usul Suku Tengger dipercaya berasal dari Kerajaan Majapahit yang umumnya menganut agama Hindu. Hal ini ditandai dengan berbagai tradisi keagamaan maupun budaya yang dilaksanakan rutin oleh Suku Tengger.
Bahkan hingga kini Suku Tengger sangat menjaga adat serta tradisi dengan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Meskipun zaman telah berubah dan dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai tempat, Suku Tengger tetap teguh dengan budayanya dan tidak terpengaruh.
-
Namanya Diambil dari Tokoh Legendaris
Nama Tengger berasal dari nama tokoh legendaris yang dianggap sebagai leluhur Suku Tengger. Teng yang diambil dari nama Roro Anteng dan Ger dari Joko Seger menunjukkan bahwa masyarakat Tengger adalah keturunan dari kedua tokoh tersebut.
-
Sarung Sebagai Budaya
Bagaimana Suku Tengger memandang Gunung Bromo dan menghormatinya? Bagi Suku Tengger sarung tidak hanya digunakan untuk melindungi diri dari udara dingin pegunungan, tetapi juga untuk mengendalikan ucapan serta tindakan masyarakat. Hal tersebut menjadi salah satu upaya untuk menghormati Gunung Bromo.
Dengan demikian masyarakat dapat terhindar dari segala keburukan dan malapetaka. Penggunaan sarung dilakukan oleh seluruh kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, anak muda hingga orang tua.
-
Hari Raya Suku Tengger
Suku Tengger ternyata memiliki hari raya besar tersendiri dan paling ditunggu-tunggu. Hari raya Suku Tengger atau yang disebut Karo ini mencakup berbagai jenis kegiatan. Mulai dari kesenian adat berupa pagelaran Tari Sodoran, pawai hasil bumi masyarakat, dan silaturahmi ke rumah sanak saudara serta tetangga sekitar.
Pada pelaksanaannya Karo dipimpin oleh seorang Rau atau yang bertugas memimpin doa. Meskipun sebutannya Ratu tetapi yang memimpin adalah seorang laki-laki. Akan tetapi banyak juga yang menyebutkan dengan istilah dukun. Untuk waktu pelaksanaannya sendiri dilakukan setelah hari raya Nyepi.
-
Bahasa
Meskipun berada dalam wilayah Jawa Timur, Suku Tengger yang berada di Gunung Bromo menggunakan bahasa yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Bahasa yang digunakan Suku Tengger menggunakan huruf Kawi dan ditulis dalam bentuk Mantra.
Bahasa tersebut berbeda dari bahasa Jawa modern karena sebagian besar menggunakan kalimat-kalimat kuno zaman kerajaan. Dengan demikian tidak heran jika dialeknya pun jauh berbeda dan membuat Suku Tengger semakin unik.
Bagaimana Suku Tengger memandang Gunung Bromo sebagai Gunung Suci yang patut dijaga dan dihormati. Hal ini dipicu oleh kepercayaan akan leluhur mereka yang bersemayam di dalam Gunung dan didukung oleh kisah legendaris asal-usul Bromo.
Akan lebih menarik, jika Anda bisa lebih dekat melihat kehidupan masyarakat Tengger di sana dengan open trip Nahwa Tour kami. Caranya bisa booking langsung di 081 222 431 414.